Misteri Gunung Marapi Sumbar: Mitos, Fakta dan Erupsi yang Tak Biasa

Hadi Iswanto - Selasa, 05 Desember 2023 17:26 WIB
Misteri Gunung Marapi Sumbar: Mitos, Fakta dan Erupsi yang Tak Biasa
Misteri Gunung Marapi Sumbar, Mitos, Fakta dan Erupsi yang Tak Biasa
bulat.co.id -Erupsi Gunung Marapi Sumatera Barat (Sumbar) bak misteri karena peristiwa alam itu disebut tak terdeteksi. Mitos, fakta dan erupsi tak biasa menjadi misteri Gunung Marapi.

Gunung Marapi berstatus waspada sejak lama, namun tak ada aktifitas berarti. Tiada pertanda bakal meletus.

Itu yang membuat BKSDA Sumbar membuka kawasan itu bagi pendaki. Makanya, saat gunung itu meletus akhir pekan lalu, ada 75 pendaki yang sedang berada di sana.

Bagaimana sebenarnya Gunung Marapi yang penuh misteri itu?

Lokasi Gunung Marapi

Gunung Marapi, juga dikenal sebagai Merapi atau Gunung Berapi.

Gunung ini terletak di dua wilayah Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat.

Gunung ini termasuk salah satu gunung berapi paling aktif di wilayah Sumatera. .

Gunung ini menjulang mencapai 2.891 meter di atas permukaan laut. Makanya gunung ini terlihat dari kota-kota seperti Bukittinggi, Kota Padang Panjang, dan Kabupaten Tanah Datar.

Mitos dan Fakta

Sejarah mencatat, letusan Gunung Marapi lebih dari 50 kali sejak akhir abad ke-18.

Menurut legenda dan cerita turun-temurun, gunung ini merupakan tempat pertama dihuni oleh orang Minangkabau.

Konon, orang Minangkabau pertama kali menetap di gunung ini saat ukurannya hanya sekecil telur dan dikelilingi oleh air.

Di sekitar wilayah ini terdapat banyak batu penguburan tegak atau menhir yang mengarah ke arah gunung, mencerminkan aspek budaya mereka.

Gunung Marapi dianggap memiliki nilai historis dan legenda turun-temurun.

Tambo, sebuah kumpulan hikayat yang menjelaskan banyak sejarah Minangkabau, termasuk asal-usul mereka, menjadi sumber informasi penting dalam memahami sejarah leluhur orang Minangkabau.

Tambo juga mencakup aturan-aturan adat yang masih relevan hingga sekarang. Berdasarkan tambo, diketahui bahwa leluhur orang Minangkabau berasal dari lereng Gunung Marapi.

Seiring berjalannya waktu, menurut tambo, Nagari Tuo Pariangan muncul di Kabupaten Tanah Datar.

Letusan demi Letusan

Pada tanggal 8 September 1830, gunung ini melepaskan awan berbentuk kembang kol berwarna abu-abu kehitaman yang tebalnya mencapai 1.500 meter di atas kawah, disertai dengan gemuruh.

Pada tanggal 30 April 1979, laporan pers melaporkan bahwa letusan gunung ini menewaskan 60 orang dan mengubur 19 orang penyelamat di bawah longsoran tanah. Letusan ini juga merusak setidaknya 5 permukiman penduduk.

Dari akhir tahun 2011 hingga awal tahun 2014, gunung ini menunjukkan peningkatan aktivitas dengan beberapa letusan yang menghasilkan abu dan awan hitam.

Pada akhir tahun 2011, debu vulkanik bahkan mencapai Kabupaten Padang Pariaman.

Pada tanggal 26 Februari 2014, gunung ini meletus melepaskan material pasir, tefra, dan abu vulkanik ke wilayah Kabupaten Tanah Datar dan Agam.

Status gunung ini ditingkatkan menjadi siaga level 2 dan radius 3 km dari pusat kawah harus dikosongkan.

Tanpa Pertanda

Ketua Forum Tri Arga (Gunung Marapi, Gunung Singgalang, dan Gunung Tandikat) Doles menyebut bahwa tidak ada tanda mencolok saat gunung itu erupsi. Karena, hanya ada suara gemuruh yang menyerupai tanda akan hujan menjelang erupsi gunung di perbatasan Kabupaten Agam dan Bukittinggi, Sumatera Barat itu.

"Kejadiannnya nggak ada tanda-tandanya. Langsung aja gemuruh kayak geluduk. Masyarakat menyangkanya itu kayak geluduk biasa aja kayak mau hujan," kata Doles kepada detikTravel, Selasa (5/12/2023).

Kejadian itu juga tak terlalu diperhatikan oleh warga lokal. Apalagi berpikir akan ada banyak korban di atas gunung.

"Kebetulan di daerah sini lagi berawan. Disangkanya geluduk aja. Nggak tahunya geluduknya beda. Itu seperti orang bongkar batu dari truk. Kaget pada keluar semuanya," kata dia.

Doles menyebut bahwa hanya sebagian warga yang merasakan gempa yang juga tidak terlalu besar itu. Karena, tiada guncangan berarti dan rumah pun hanya bergetar dalam skala kecil.

"Ada gempa juga dikit tapi nggak kayak gempa biasa. Di tanah nggak berasa guncangan gempa, cuma rumahnya getar," kata dia.

Erupsi Gunung Marapi kali ini tidak seperti letusan pada enam tahun yang lalu. Perbandingan utamanya yakni tiada hewan yang turun gunung.

"Kalau dipikir-pikir itu tanda-tandanya itu di luar kebiasaan. Contoh, pada 2017 itu binatang pada turun. Orang di kampung ini ketemu rusa dan ada saja yang aneh-aneh. Langsung orang tua bisa merasa menggambarkan kayaknya ini mau ada kejadian," dia menjelaskan.

"Kalau di kampung-kampung itu biasanya, minimal sejam sebelum ada gempa ayam-ayam berkotek ramai. Kalau ada sapi, di kandangnya mereka bersuara. Sekarang nggak ada tanda-tanda sama sekali. Langsung aja gitu," ujar Doles.

Sifat Erupsi Marapi

Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Hendra Gunawan menyebut PVMBG secara rutin menyampaikan status dan rekomendasi gunung-gunung merapi di Indonesia, termasuk Gunung Marapi, kepada bupati dan gubernur. Rekomendasi itu disampaikan dua pekan sekali.

"Masalahnya Gunung Marapi seolah tampak gitu-gitu saja, erupsi dua tahun sekali. Tetapi, justru erupsi bisa terjadi kapan saja itu. Itu yang jadi masalah. Dan, masalah ada di sekitar puncak, tidak melibatkan orang banyak. Kalau melibatkan banyak orang, skala besar, orang yang jauh akan turut mengingatkan. Ini tidak," kata Hendra.

"Peristiwa ini mirip dengan yang terjadi pada 2017, saat itu tidak ada korban. Mungkin orang kemudian lupa dan menjadi tidak waspada," dia menambahkan.

Ada dugaan kelalaian dalam pemberian ijin pendakian Gunung Marapi. Dengan status Waspada, PVBMG telah merekomendasikan larangan mendekati kawah hingga radius 3 kilometer.

"Status Gunung Marapi itu Waspada sejak 2011, rekomendasinya warga dilarang mendekat dalam radius 3 kilometer dari puncak. Artinya, seharusnya tidak boleh ada pendakian ke puncak," kata Hendra Gunawan.

"Erupsi Gunung Marapi akan terus berulang, tetapi tidak tahu kapan. Mendaki gunung boleh, tetapi dilarang mendekat ke puncak. Jadi, seharusnya tidak ada pendakian ke puncak," dia menegaskan.

Merujuk data Basarnas, di antara 75 pendaki yang mengantongi izin, sebanyak 63 pendaki di antaranya sudah ditemukan dan 12 orang masih dalam proses pencarian.

Sebanyak 49 pendaki di antaranya sudah dievakuasi, 26 di antaranya masih di puncak gunung. Mereka yang ditemukan sebagian mengalami luka bakar, patah tulang, dan dirawat di rumah sakit di Padang Panjang dan Bukittinggi.

Penulis
: Hadi Iswanto
Tags
Berita Terkait
Komentar
Berita Terbaru