Turun Gunung, Politik, Pemilu, Kekuasaan
Istilah
turun gunung pada awal mulanya digunakan untuk cerita silat. Ketika seorang Pendekar keluar dari tempatnya berguru untuk mengamal ilmu yang diperolehnya. Tentu untuk menebar kebaikan bukan keburukan.
Politik kian mengencap layar beranda media massa, politik menguncang kehidupan berbangsa. Banyak hal menjadi trending topik, "
turun gunung" kini menjadi salah satu istilah yang diperdebatkan, tentunya panas namun menarik.
Pemilihan umum
Pilpres dan Cawapres Februari 2024 menjadi momentum kontestasi politik yang tidak hanya mengharapkan dukungan rakyat lewat suara pemilihan tetapi kini selain tim pemenangan, relawan, aktor lain pun ikut berperan.
Semarak
Pemilu 2024 tercium aromanya, setiap tokoh politik masing-masing membeberkan strategi yang beraroma untuk perubahan. Aroma menuju pesta demokrasi tidak hanya tercium wanginya yang sedap, begitu banyak rasa yang tercampur.
Istilah
turun gunung, bukanlah istilah yang biasa-biasa saja, istilah ini memungkinkan pada suatu peristiwa (Politik). Kondisi demikian pun mendebar isi kepala setiap orang, ada apa? Konon, katanya
turun gunung merupakan suatu tindakan yang lahir dari kecemasan, juga merupakan aksi untuk membeberkan nilai-nilai positif, mungkinkah ?
Indonesia sedang tidak baik-baik saja, visi misi demokrasi kian terkabur, benturan-benturan isi kepala begitu ramai.
Turun gunung wajar-wajar saja, tetapi langka demikian menjadi adegan yang membuat orang penasaran. Gunung itu bukit yang sangat besar dan tinggi. Aktivitas
turun gunung menjadi pertanyaan besar, yang tidak kala pula aktivitas-aktivitas demikian dengan mudah terbaca.
Turun gunung disatu sisi sebagai aktivitas yang rawan, hal itu mirip dengan aktivitas yang rawan, hal itu mirip dengan aktivitas vulkanis yang menimbulkan letusan gunung yang panas dan penuh lahar serta pergeseran tektonis menyebabkan rawan gempa bumi dan tsunami.
Pemilu dan turun gunung
Pemilu tidak saja membuahkan pertengkaran perolehan suara, tetapi juga pertengkaran isi kepala dengan munculnya berbagai analisis, bukan saja analisis hasil kajian, tetapi hasil analisis ambisi kepentingan.
Menjelang 14 Februari 2024, aktor-aktor politik begitu banyak yang setelah mendaki gunung tak segan-segan harus
turun gunung.
Gunung menjadi tempat yang sejuk anginya, kita bisa dengan tenang menceritakan kembali nostalgia-nostalgia lama. Selain digunung tidak ada lagi udara yang segar apalagi diperkotaan yang penuh dengan tempelan gambar-gambar.
Hangat-hangatnya diperbincangkan, seperti apakah pemimpin yang pro rakyat?
Penulis melihat, sebagian besar kecemasan yang dimiliki itu adalah kecemasan pada kepentingan akan
kekuasaan. Hal tersebut terlihat bagaimana para aktor-aktor mengaungkan suaranya, tentu saja bernaung dalam
kekuasaan.
Pemilu-pemilu di negara - negara demokrasi adalah ajang bagi pelaku kampanye untuk menyampaikan hal - hal apa yang ia telah, sedang, dan akan lakukan. Karena kepentingan akan
kekuasaan menjadi salah satu alasan fundamental terjadinya sebuah negara gagal.
Dalam artikelnya, mengenai negara gagal, Ketua Bidang Studi Dasar - Dasar Ilmu Hukum, Budi Darmonon, menyampaikan bahwa, proses terjadinya negara gagal melalui beberapa tahapan kunci diantaranya masalah dibidang keamanan, ketertiban, hukum, ekonomi, dan politik.
Dalam bidang politik, dilihat dari negara tidak melaksanakan proses transisi
kekuasaan secara bijaksana artinya tidak diterima dengan baik oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan di masyarakat.
Penulis: Riki Cowang