bulat.co.id - Puasa Ramadan tidak hanya dilakukan oleh umat Muslim di Bumi
saja, melainkan juga di luar angkasa. Seperti yang dilakoni astronaut Emirat
Sultan Al Neyadi yang saat ini bertugas di Stasiun Luar Angkasa Internasional
(ISS) misalnya.
Ibadah puasa sendiri ditandai dengan waktu imsak, subuh,
hingga senja. Jelang matahari terbenam contohnya, orang-orang bisa mulai
mempersiapkan untuk berbuka puasa. Namun, bagaimana dengan mereka yang
mengalami matahari terbit dan terbenam tidak seperti pada umumnya?
Baca Juga: Di Masa Depan, Rumah di Mars Terbuat Dari Tepung Kentang
Pedoman Berpuasa di
Luar Angkasa
Di ISS ada 16 matahari terbit dan terbenam setiap harinya.
ISS menggunakan Universal Coordinated Time (UTC), sehingga waktu itulah yang
diikuti Al Neyadi sebagai pedoman untuk memulai puasa.
Di sisi lain, dalam agama Islam orang yang dalam perjalanan
jauh tidak wajib berpuasa. Melalui konferensi persnya pada Januari lalu seperti
dikutip dari detikEdu, Selasa (28/3/2023), Al Neyadi mengatakan apabila merujuk
hal ini, para astronaut diizinkan untuk makan makanan yang cukup untuk mencegah
kekurangan nutrisi atau hidrasi. Sebab, kaitannya adalah keselamatan para kru
dan misi itu sendiri.
Selama bertugas di luar angkasa, Al Neyadi akan melakukan 19
eksperimen dengan topik mulai dari sakit punggung hingga biologi tumbuhan dan
ilmu material. Sementara astronaut Emirat pertama, Hazza Al Mansouri, berada di
ISS selama hampir delapan hari pada tahun 2019.
Cara Menentukan
Kiblat di Luar Angkasa
Sebelumnya ada pula sembilan pria Muslim lainnya selain Al
Neyadi dan Al Mansouri, yang telah melakukan perjalanan ke luar angkasa. Orang
pertama yang melakukannya adalah pangeran Sultan bin Salman Al Saud pada tahun
1985.
Namun, pada waktu itu belum ada diskusi publik tentang
bagaimana umat Islam beribadah di luar angkasa. Sampai kemudian Sheikh
Muszaphar Shukor, astronaut Malaysia pertama, meminta pedoman dari Dewan Fatwa
Nasional Malaysia.