Pemujaan Terhadap Gunung Masih Ada di Pulau Jawa

Pemujaan Terhadap Gunung Masih Ada di Pulau Jawa
- Rabu, 08 Maret 2023 10:53 WIB
Pemujaan Terhadap Gunung Masih Ada di Pulau Jawa
Foto: Istimewa
Prasasti Linggasutan, Prasasti Muncang, Prasasti Himad walandit dan Penanjakan serta adat suku Tengger ( Bromo )
bulat.co.id -Masyarakat gunung Tengger yang dulunya meliputi 41 desa masih menjalani adat berdoa terhadap gunung. Hal tersebut adalah dinamika sosial budaya, yang sekarang mulai tergerus dan semakin menciut / mengecil karena adanya perkembangan budaya lain khususnya budaya asing yang lebih mengutamakan kepentingan material dengan materialisme nya, dibandingkan budaya lokal yang mengutamakan spiritual dengan spiritualisme nya juga.

Contoh kasus peristiwa Ponari kecil, hanya dengan sebuah batu akik bisa menyembuhkan segala macam penyakit, sungguh itu irasional, mengalahkan para dokter yang rasional. Tapi itulah realitas kehidupan yang tumbuh di masyarakat kita.

Pemujaan terhadap gunung keramat telah ada selama beratus-ratus tahun lamanya, seperti diberitakan oleh Pu Madhuralokajana seorang penguasa watak hujung yang menaruh perhatian lebih terhadap sistem religi diwilayahnya.

Dengan ditandai Keluarnya prasasti Linggasutan lalu berkelanjutan dengan prasasti Muncang (851 saka), yang dikeluarkan oleh sri maharaja rake hino pu sindok sri isanawikramad harmotungga dewa, sekitar 4 abad kemudian juga diperkuat oleh prasasti Himad walandit tak berangka tahun.

Sebuah keputusan yang diambil di luar persidangan oleh pejabat tinggi kerajaan naungan Majapahit Rake mapatih ring Jenggala panjalu pu mada.
Baca juga: Warga Unik, Mencari Rumput Pakan Ternak Menggunakan Mobil Avanza

Keputusan tersebut diperkuat dengan munculnya Prasasti Penanjakan/walandit yang dikeluarkan oleh Raja Majapahit yakni Bhatara Wkasing suka (gelar anumerta hayam wuruk).

Mereka para Hulun Hyang juga menghitung secara matematis kalender kuno mereka.

Dengan ditandai upacara "unan unan" yang berarti "Ngunan Wulan Nglungguhne Taun" atau di terjemahkan artinya menghitung kembali siklus untuk menetapkan bulan dan tahun, untuk lima tahun kedepan dan upacara ini dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

Mereka juga melakukan upacara sakral "Pujan Kasada" dan menjaga tradisi mantra kuno *Mulenen* yang di wariskan turun temurun oleh para rama atau dukun hulun Hyang.

Hulun Hyang/Wang Brahma juga serempak memperingati hari raya besar *Pujan Karo* yang dirayakan oleh semua masyarakat yang mendiami di pegunungan tengger.
Baca juga: Keberadaan Manusia Hutan di Bukit Purbalingga dan Pemalang Masih Misteri

Mereka terdiri dari 41 desa yang tersebar di 4 Kabupaten Yakni, Kabupaten Malang, Pasuruan, Probolinggo dan kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa timur.

Pada tahun 1970-an mereka berembuk, para dukun Brang kulon juga Brang wetan (barat dan timur), bersama-sama menentukan agama resmi, mereka sepakat memilih agama Hindu. Akan tetapi dukun Brang kulon secara khusus dengan Desa Ngadas memilih agama Budha.

Mereka tidak meninggalkan begitu saja keyakinan Kuno yang penuh syariat luhur, yang telah dianutnya oleh nenek moyang mereka selama beribu-ribu tahun lamanya.

Maka terjadilah akulturasi Budaya dan kepercayaan Kuno Hulun Hyang/Wang Brahmana,Hong ulun basuki langgeng.

sumber : nurdin Iskak (budayawan kabupaten Pemalang).

Penulis
:
Editor
:
Tags
Berita Terkait
Komentar
Berita Terbaru