"Penyelenggara perdagangan melalui system elektronik
atau PPMSE dengan model bisnis social commerce dilarang memfasilitasi transaksi
pembayaran pada Sistem Elektroniknya," bunyi aturan tersebut.
Jadi, jika media sosial tetap ingin mempertahankan
sebagai e-commerce, maka harus mengubah sistemnya sebagai e-commerce bukan lagi
sebagai media sosial juga. Izinnya juga berbeda, salah satunya harus memiliki
izin usaha.
Kemudian, jika ingin sebagai social commerce, maka
hanya diperbolehkan sebagai layanan promosi atau iklan, tidak boleh ada
transaksi di satu platform yang sama.
Baca Juga :Pemkab Batang Gelar Pasar Murah, Ratusan Emak-emak Rela Antre Berjam-jam
Sebelumnya, Zulhas telah mengatakan keberadaan
media sosial sekaligus menjadi e-commerce resmi dilarang. Adapun contoh sosial
media yang sekaligus menjadi e-commerce saat ini adalah TikTok. Di mana dalam
satu aplikasi itu juga bisa dilakukan transaksi perdagangan melalui fitur
TikTok Shop.
Zulhas mengatakan, larangan itu telah berlaku
sejak Selasa (26/9) setelah aturan revisi itu diundangkan. Namun, sosial media
yang juga menjadi e-commerce itu diberikan waktu seminggu untuk transisi,
seperti mengurus izin.
"Nggak boleh lagi (sosial media sekaligus
e-commerce) mulai kemarin. Tetapi kita kasih waktu seminggu, ini kan ini
sosialisasi. Besok saya surati," ujar Zulhas dalam konferensi pers di
Kementerian Perdagangan, Jakarta Pusat, Rabu (27/9/2023) kemarin.
Meski demikian, pemerintah tidak serta merta
melarang keberadaan dari media sosial, e-commerce, dan social commerce. Ketiga
hal itu diatur ketat masing-masing terkait aktivitasnya hingga izinnya.
"Tidak dilarang, diatur! Negara lain
melarang, kita mengatur," ucapnya.
"Yang ada itu (izin) e-commerce, social
commerce belum ada izin. Jadi ini diatur media sosial kalau mau social commerce
hanya untuk promosi dan iklan, kalau berjalan e-commerce ada izinnya, tinggal
pilih aja pelaku usaha," tambah Zulhas. (dhan/dtk)