"Ketika pembangunan Water Front City, klien kamitidak dipanggil
untuk sosialisasi. Akan tetapi pihak kepala desa mengundang orang lain yang
bahkan diduga tidak memiliki surat," ucap Dwi.
Lebih lanjut, kata dia, baik kepala desa, Camat Pangururan, Assiten 1 dan
staff ahli Pemkab Samosir sudah patut diduga telah melakukan perbuatan melawan
hukum karena membangun di atas tanah pribadi masyarakat tanpa adanya ganti
rugi.
"Ini akan kami dumas-kan (pengaduan masyarakat) ke Polres Samosir. Karena
banyak kejanggalan-kejanggalan di pembangunan proyek ini. Dan ini akan kami
tembuskan," pungkas Dwi.
Baca Juga :Ini Daftar Kekayaan 30 Bupati dan Walikota di Sumut Tahun 2023, Siapa Paling Kaya?
Terpisah, Kabag Hukum Pemkab Samosir, Lamhot Nainggolan ketika
dikonfirmasi wartawan, Senin (31/7) menjelaskan, bahwa polemik terjadi akibat
permasalahan yang berkaitan dengan keluarga sebagai ahli waris (sesama cucu
dari keturunan boru Silalahi).
"Kalau versi dari Saudara Simbolon, karena ayahnya yang menebus, maka
Saudara Simbolon menganggap lahan itu miliknya. Sedangkan versi Almarhum Hammad
Simbolon dulunya mengatakan harus mereka yang mempunyai lahan tersebut. Jadi,
yang berebut ini adalah sesama cucu dari Boru Silalahi yaitu, Saudara Simbolon,
Saut Simbolon dan Martogi Simbolon," ungkap Lamhot.
Selanjutnya, kata Lamhot, bahwa baik pemerintah maupun secara keluarga
sudah beberapa kali melakukan mediasi, namun belum ada titik temu."Mediasi
sudah beberapa kali dilakukan oleh pemerintah desa, kecamatan dan Staff Ahli
bidang Pemerintahan dan Sumber Daya Manusia. Namun mereka belum ada menemukan
titik temu," paparnya.
Di sisi lain, lanjut Lamhot, dokumen yang ditunjukkan oleh Saudara
Simbolon adalah surat pernyataan penebusan gadai, yang jelas menyebutkan tanah
yang ditebus adalah tanah yang digadaikan oleh Hammad Simbolon. "Penebus
gadainya atas nama Saudara Simbolon. Harapan kita, karena masalah ini sedang
diajukan perkara perdata di Pengadilan Negeri (PN) Balige, kita tunggulah
prosesnya," imbuhnya. (dhan/wsp)