bulat.co.id, Labuan Bajo -Bonavantura Abunawan, tua adat ulayat Gendang
Mbehal menanggapi pernyataan Alfons Dambuk dan
Bone Bola di media terkait tanah di wilayah Merot desa Tanjung Boleng, kecamatan Boleng kabupaten Manggarai Barat. Kamis, [24/4] malam.
Bonavantura menegaskan bahwa Alfons Dambuk dan Bone Bola bukan orang asli Terlaing.
"Alfons Dambuk itu adalah orang Kempo dari kampung Kondas. Mamanya orang Terlaing, bukan sebagai apa apa," kata Bonavantura kepada bulat.co.id.
Dalam perkara tanah Merot, kata Bonaventura, orang Mbehal tidak menempatkan orang Terlaing sebagai lawan.
"awalnya orang Mbehal tidak menganggap orang Terlaing sebagai lawan tetapi dipandang sebagai bagian dari warga Ulayat Gendang Mbehal. Tetapi Orang orang Terlaing lah yang memulai melawan orang Mbehal karena mereka mengklaim diri sebagai Ulayat. Akan tetapi orang Mbehal belum pernah beri mereka hak gendang.
Tetapi, setelah tua Golo Terlaing bernama Gabriel Ganti mengakui hak itu di Mbehal setelah itu dia dicopot oleh Hendrikus Jempo dan Bone Bola. Lalu menseting Bone Bola sebagai Tua Golo Terlaing," lanjutnya.
"Awalnya, orang Terlaing yang hadir rapat pada tanggal 18 April 2009 itu ada lima orang, Tua Golo nya Gabriel Ganti. Ada dokumen tanda tangan daftar hadir kok, semua lengkap. Mereka Pau Tuak resmi, satu ekor ayam, uang 3500 rupiah dan satu botol bir. Mereka mengakui bahwa mereka tidak bisa di depan Mbehal. Kalau ada warga Terlaing yang membagi tanah di kawasan Merot dan Rangko, itu di luar tanggung jawabnya sebagai Tua Golo," jelas Bonaventura.
Setelah mendapat pengakuan itu, orang Mbehal mengajak orang Terlaing untuk sama sama mengatur ketertiban tanah di wilayah ulayat Mbehal.
"Maka saya libatkan mereka, oke kita sama sama. Kami turun mengatur ketertiban tanah, mereka tidak turun, tapi selanjutnya orang Terlaing mencopot Gabriel Ganti dari Tua Golo dan menunjuk Bone Bola Tua Golo Terlaing dan menyebut diri Hendrikus Jempo sebagai Tua Gendang Terlaing. Itu setingannya mereka. Mereka mencopot Gabriel Ganti yang manut kepada Gendang Mbehal," tutur mantan Camat Boleng itu.
Kata Bonavantura, Bone Bola dan Hendrikus Jempo mengambil jabatan sebagai tua Golo Terlaing karena ingin mengamankan tanah yang telah mereka jual.
"Padahal mereka [Bone Bola dan Hendrikus Jempo] tidak punya hak. Tujuan mereka adalah mereka mau mengamankan tanah yang mereka sudah jual. Banyak yang sudah mereka jual," ungkapnya.
Dia menjelaskan, ayah Bone Bola berasal dari kampung Gusi.
"Saat dia [ayah Bone Bola] masih muda dulu dia pindah ke kampung Molot dekat Rareng mengikuti kakaknya yang tinggal di Molot. Kakaknya itu tinggal di Molot karena nikahi seorang janda dari orang Terlaing asal Rareng yang tinggal di Molot. Lalu bapanya Bone Bola kemudian pindah ke Terlaing karena kampung Molot masuk hutan tutupan tahun 1949 dan kakaknya pindah ke kampung Romet lalu ke Kokor," katanya.
Dijelaskan Bonavantura, ketika ulayat Mbehal meminta kesedian Terlaing untuk menyiapkan seekor ayam untuk disembelih sebagai bahan persembahan kepada leluhur, orang Terlaing tidak mau.
"Saat kami turun menertibkan Patok patok di Rangko - Merot ini pada tanggal 9 Agustus 2009, kami ajak Terlaing. Selama dua minggu kegiatan. Kami minta orang Terlaing untuk siapkan ayam satu ekor untuk kasih makan leluhur tapi mereka tidak mau turun. Tidak mau bergabung dengan kami," bebernya.
Kata Bonaventura, menurut orang Terlaing, mereka yang lebih berhak atas tanah di Merot dan Rangko.
"Setelah kegiatan bulan Agustus, salah seorang dari Mbehal bernama Dami Japa menyampaikan kepada Gabriel Ganti sebagai Tua Golo bahwa kami sudah turun. Karena kamu [Terlaing] tidak turun, padahal kita sudah sepakat kamu siapkan ayam. Tapi sudahlah tidak apa apa kami sudah turun. Mari kita rapat evaluasi malam minggu di Mbehal kita gabung lagi. Kegiatannya mulai 9 Agustus sampai 15 Agustus. Diberitahu baik baik, tapi mereka tidak datang," katanya.
Pada tahun 2011, orang Terlaing turun bagi tanah dan menyebut gendang Terlaing dipimpin oleh Gabriel Hambur.
"Dia [Gabriel Hambur] dari Terlaing tapi tinggal di Ruteng. Waktu itu kami tidak ganggu. Setelah mereka Tente Lodok, bagi tanah, kami tidak ganggu," jelas Bonaventura.
Dia menambahkan, ketika orang Terlaing mulai membagi tanah di Merot, mereka tidak mengganggu karena takut ada konflik.
"Waktu mereka Tente Lodok, kami tidak ganggu karena kami tidak ingin konfik. Setelah kematian yang beruntun itu, mereka tidak berani masuk lokasi. Maka kami melanjutkan kegiatan sejak 2009 itu sampai sekarang. Kami kuasai lokasi," tambahnya.
Menurutnya, Tanah tanah di Merot itu telah lama dijual.
"Tetapi, jauh sebelum itu. Sejak 2003, 2004 mereka sudah menjual tanah dengan Tua Golo nya Abdulah Duwa dan Jemaling. Bahkan Bone Bola dapat tanah berdasarkan Kapu Manuk Lele Tuak," ungkapnya.
Bonavantura juga membantah pernyataan Bone Bola dan Alfons soal kepemilikan tanah di Merot.
"Kalau ada orang yang mengakui tanah di Merot itu milik perorangan, pertanyaan saya, Siapa yang bagi? Kalau bukan ulayat Mbehal yang bagi, berarti kau tidak punya hak untuk mengklaim tanah tersebut secara perseorangan. Yang kau kerja itu tanah komunal. Kau tidak punya hak untuk mengalihkan ke pihak ketiga, kecuali atas persetujuan ulayat Mbehal," jelasnya.
Bonavantura juga menegaskan bahwa pihaknya tidak mengakui hak perorangan yang menguasai tanah di Merot.
"Kami tidak mengakui hak perorangan yang menguasai tanah di Merot. Siapapun itu. Karena ini menyangkut keturunan. Kami ini hanya Lami Tanah Taki, Riang Tana Tiwa. Lami Tanah Taki Maksudnya Tanah nenek moyang leluhur, kami ini tukang jaga tanahnya leluhur dan tanahnya anak cucu. Riang Tana Tiwa, maksudnya kami ini hanya menjaga tanah yang diterima dari leluhur kami. Ini yang kami jaga supaya jangan ada konflik," tegasnya.
Bonavantura tidak ingin ulayat dan warga masyarakat lokal tersingkir dari kampung halamannya. Siapapun yang mau dapat tanah di sana, harus melalui ulayat Mbehal.
"Harapan saya, mari kita menjunjung tinggi kebenaran dan moralitas demi menghormati demi meningkatkan kemajuan masyarakat lokal sampai anak cucu nanti bukan untuk pribadi. Itu tanggung jawab yang ada di tangan ulayat Mbehal. Jangan ada ulayat Abal abal, keputusan Abal abal, tidak boleh," katanya.
Dia juga menjelaskan bahwa Alfons dan Bone salah menyebut nama wilayah Merot. Kata dia, wilayah itu bukan Nerot tapi Merot. Merot itu nama seseorang yang dulu ditugaskan oleh Tua Golo Mbehal untuk menjaga kerbau. "Nama orang itu dulu Ema d Merot [Bapaknya Merot]. Emerot sebenarnya atau Merot, bukan Nerot," pungkasnya.
Sementara itu, Alfons Dambuk mengakui bahwa dirinya asli orang Kondas Kempo. "Ia. Bapa saya memang orang Kondas Kempo. Mama saya orang Terlaing. Tapi saya asli dari Dalu Rekas," tegasnya.
Baik Alfons Dambuk, Hendrikus Jempo dan Bone Bola enggan menanggapi tuduhan Bonaventura.
Menurut mereka, Bonaventura tidak punya hak untuk mengurus ulayat kampung lain. "Dia itu siapa? Dia tidak punya hak untuk urus ulayat kampung lain. Secara legal standing, dia tidak punya hak," pungkas Hendrikus saat ditemui di kediamannya di Sernaru Labuan Bajo. Jumat, [25/4] sore.